Pagi ini wanita tua itu kembali menarik gerobak sampah.
Jalannya agak terpincang-pincang, entah karena kakinya sakit atau karena
keberatan menarik gerobaknya. Sandal jepit yang mengalasi kakinya, seperti baju
kaos dan roknya yang lusuh, sudah tak jelas warna aslinya. Entah karena terlalu
lama usianya, atau karena terlalu banyak debu yang bersarang di sana. Karena
mungkin berat, jalannya juga cuma nggremet seperti truk gandeng mercy yang
kepalanya nonong itu. Pengendara di belakangnya memperlambat laju motornya,
memberi kesempatan kendaraan dari lawan arah. Beberapa orang yang memburu
waktu, mengantar istrinya berkebaya lengkap hendak upacara di kantor wali kota,
mungkin berguman: bikin macet saja!
Karena bertepatan dengan hari peringatan tentang hakekat wanita
Indonesia, tadi malam Si Tini, cucunya, iseng-iseng bertanya kepada perempuan
itu.
“Tanggal 21 April itu hari apa mbah?”
“Ya, hari Minggu!” jawab Mak Inah dangkal, tanpa mengena
pada esensi pertanyaan cucunya. Tini pun tak melanjutkan pertanyaannya. Ia tahu
benar, tak ada jawaban yang lebih benar dari pada jawaban neneknya.
Ya, ia benar. Memang tanggal 21 April tahun ini jatuh
padahari Minggu. Ia tidak salah sebab ia tidak lagi ingat akan pelajaran
sejarah di sekolah dulu. Atau, ia memang tidak mengenal apa itu Hari Kartini,
karena ia mungkin saja tidak pernah sekolah. Yang ia ingat hanyalah tugasnya
setiap hari, menarik gerobak sampah. Dari unjung jalan, berhenti di depan
setiap rumah, mengangkat tong sampah dari ban bekas lalu memuntahkan sampah bau
itu ke perut gerobaknya. Begitulah seterusnya, sampai di akhir jalan itu.
Mak Inah, memang pernah mendengar ketika cucunya menghafal
pelajaran sejarah. Si Tini, cucunya itu, mempunyai kebiasaan menghafal sambil
membaca keras-keras kalimat yang dihafalnya. Supaya tidak mudah terlupa. Oleh
karena itu, masih belum tegerus dari ingatannya ketika si Tini membaca
keras-keras: Buku karangan R.A. Kartini adalah Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tentu saja Mak Inah tak pernah tahu persis apa maskudnya,
selain sekadar meraba-raba artinya. Menerjemahkan ala orang bodoh dan miskin.
Adakah itu artinya, sehabis malam membungkus bumi lantas terbentanglah siang di
hamparannya? Kalau itu artinya, bukankah itu hanyalah sebuah kebenaran umum
yang cukup diterima saja? Kehendak Tuhan yang diawali ketika Ia menciptakan
dunia dan mungkin akan diakhiri saat Ia mengirimkan kiamat?
Menurut Mak Inah, pendapat pribadinya, gelap diartikannya
sebagai nasib rakyat kecil yang hidupnya tak seterang orang kaya. Lalu, terang
dimaknainya sebagai rasa bahagia karena kemiskinan itu justru membuatnya
tenang. Samar-samar pernah terlihat di televisi orang kaya seusianya yang
bajunya bertuliskan ‘TAHANAN KPK’. Baginya kemiskinannya tidak pernah
membuatnya menjadi pesakitan seperti orang kaya yang di TV itu. Bisa saja orang
miskin hidupnya terang, dan bisa saja yang kaya hidupnya gelap.
Meski berat, gerobak Mak Inah sampai juga ke TPA. Tempat
Pembuangan Akhir, pembuangan sampah. Pengalamannya selama ini yang lebih dari
lima belas tahun menjadikannya hafal betul bahwa sampah pun mempunyai kasta.
Kasta brahmana dan kasta sudra, kasta kaya dan kasta melarat.
Sampah dari rumah tingkat yang di bagian sampingnya ada
kandang mercy, pajero, alphard atau setidanya, kijang dan macan hitma, biasanya
berupa kotak-kotak bungkus pizza atau dunkin donat. Roti yang bentuknya budar
seperti roda berselaput gula. Entah bagaimana rasanya ia tak pernah tahu.
Lidahnya tak pernah bercerita tentang itu. Gambar-gambar itu saja yang
bercerita kepadanya. Sedang sampah dari rumah-rumah kecil, biasanya hanya
berupa sisa batang kangkung atau kulit terong yang dibungkus tas kresek.
Anehnya, Mak Inah tak pernah mengiri. Apalagi sampai
bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa ada orang kaya dan orang miskin. Ia tak
pernah protes ketika ia bingung hari ini mau makan apa, sementara makluk-makluk
itu kebingungan mau makan di mana. Baginya, sampah-sampah karton dan kardus itu
kadang bisa menghapus kebingunagan itu, manakala ia sudah membawanya ke Haji
Sakri, pengepul barang loak itu dan menukarnya dengan sejumlah uang.
Mak Inah, menambatkan gerobaknya di samping rumah sangat
sederhana yang di sewa dari Pak RT. Becak yang warnanya sudah seperti batik
karena terlalu sering di cat ulang itu sudah ada di halaman, di bawah pohon.
Pertanda Mat Pithi, suaminya, yang semalaman mencoba mengais dinginnya malam
untuk uang dua puluh ribuan sudah pulang. Begitulah, Mat Phiti lebih sering
pulang pagi. Bila malam, ia melingkarkan tubuhnya di jok becaknya dan membalut
dengan sarung di dekat perempatan lampu merah. Itu setelah lelah dan rasa
kantuk mengalahkannya.
“Mak, sebaiknya hari ini Emak gak usah memulung,” kata Mat
Pithi menyambut istrinya.
“Memangnya kenapa pak?”
“Ya, sekali-kali istirahatlah. Sehari dalam seminggu.
Seperti para pegawai itu.”
“Mereka kan gak kerja sebulan juga di bayar. Kalau kita, gak
kerja sehari berarti gak makan.”
Mat Phiti hanya manggut-manggut sambil menghabiskan sarapan
paginya. Nasi dan sambal ikan asin. Benar juga, pikirnya.
“Kalau begitu, Emak pergi ke balai kota saja. Pasti di sana
banyak totak bekas kue dan botol atau gelas akua.”
“Loh, di sana ada apa, pak?”
“Ada upacara.”
“Upacara apa?”
“Mana aku tahu toh mak, wong tukang becak kok ditanya soal
upacara segala!”
“Ya sudah, aku kesana.”
Masih tetap mengenakan pakaian kerja seperti saat ia menarik
gerobak sampahnya, Mak Inah menuju ke balai kota. Meski masih tetap berurusan
dengan sampah, kali ini Mak Inah tidak menarik gerobak. Karung pastik besar
yang dibawanya. Nangkring di punggungnya.
Di halaman balai kota, upacara itu dilakukan. Ibu-ibu,
pegawai kantor walikota itu, memakai kebaya lengkap, pakaian tradisional adat
Jawa. Juga istri wali kotanya. Pak walikota pun memakai beskap, jarik dan
blankon. Lalu, dinyanyikan lagu ‘Ibu Kita Kartini”. Mak Inah, tiba-iba ingat
tadi malam ketika si Tini menyanyikan lagu itu. Sebelum ia menanyainya tentang
tanggal 21 April itu. Pertanyaan yang aneh!
Upacara telah selesaii. Pesta di kantor wali kota pun usai.
Mobil-mobil kembali mengangkut para istri itu kembali ke rumahnya. Tidak
seperti hari-hari biasanya, hari ini bapak-bapak itu seakan bersimpuh di kaki
wanita. Dan, wanita seperti menjadi ratu sehari. Ibu-ibu itu sejak subuh telah
pergi ke salon kecantikan. Hari ini ibu-ibu itu harus nampak cantik. Harus
nampak bak seorang ratu. Konon, untuk ke salon itu mereka harus bayar mahal.
Sama jumlahnya dengan gaji yang ia terima untuk tiga bulan. Gaji sebagai
pengangkut sampah itu.
Tiba-tiba, Mak Inah ingat tentang Hari Kartini seperti yang
dinyanyikan Tini tadi malam. Ya, hari ini 21 April adalah Hari Kartini. Lalu,
ia tersenyum. Tanpa disadarinya, bibirnya bersiul: “Ibu kita Kartini, putri
sejati…” Mengingat dan mengucap sepotong-sepotong lagu pendek itu. Sambil terus
memunguti kotak kue, gelas dan botol plastik.
Ia akan terus berjuang seperti Kartini!
0 Comments:
Post a Comment